Teori evolusi
adalah sebuah dongeng yang diciptakan berdasarkan harapan bahwa yang mustahil
akan menjadi kenyataan. Dalam cerita ini, burung menempati tempat yang
istimewa. Dibandingkan semua yang ada, burung memiliki organ luar biasa, yakni
sayap. Selain istimewa dari segi struktural, sayap burung juga menakjubkan dari
segi fungsinya. Begitu menakjubkan, sehingga selama beribu-ribu tahun, umat
manusia memiliki cita-cita untuk bisa terbang, dan beribu-ribu ilmuwan dan
peneliti berupaya untuk menirunya. Meskipun sejumlah upaya sangat sederhana
pernah dikerahkan, barulah pada abad ke-dua puluh, manusia berhasil membuat
mesin yang mampu terbang. Burung sudah melakukan hal ini – yang oleh manusia
baru terwujud melalui akumulasi teknologi selama beratus-ratus tahun – sejak
jutaan tahun yang lalu, sejak burung tercipta. Lagi pula, anak burung dapat
memiliki kemampuan untuk terbang setelah mencobanya beberapa kali saja. Banyak
sifat-sifat burung yang begitu sempurna, sehingga tak mungkin disaingi oleh
teknologi paling modern sekali pun.
Teori evolusi bersandar
pada komentar-komentar berprasangka dan pemutarbalikkan kebenaran untuk
menjelaskan kemunculan makhluk hidup dan seluruh keberagamannya. Apabila sudah
menyangkut makhluk hidup seperti burung, ilmu pengetahuan pun sepenuhnya
disingkirkan, dan diganti dengan kisah fantasi evolusionis. Alasan dari semua
ini adalah sejenis makhluk yang oleh kaum evolusionis dinyatakan sebagai nenek
moyang dari burung. Teori evolusi menandaskan bahwa nenek moyang dari burung
adalah dinosaurus, anggota kelompok reptil. Pernyataan ini memunculkan dua
pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, “bagaimana dinosaurus mulai menumbuh-kembangkan
sayap?” Kedua, “mengapa tidak ada jejak prekembangan semacam itu dalam catatan
fosil?”
Berkenaan dengan
bahasan tentang bagaimana dinosaurus berubah menjadi burung, para evolusionis telah
lama memperdebatkannya, dan mengajukan dua teori. Yang pertama adalah teori
“kursorial”. Menurut teori ini, dinosaurus berubah menjadi burung dengan cara
melompat dari tanah ke udara. Adapun para pendukung teori kedua tidaklah
sependapat dengan teori kursorial ini. Mereka berkata, mustahil dinosaurus
berubah menjadi burung dengan cara demikian. Menurut teori kedua ini, dinosaurus
yang hidup di dahan pepohonan berubah menjadi burung karena berusaha melompat
dari dahan ke dahan. Ini biasa disebut sebagai teori “arboreal”. Bagaimana
dinosaurus bisa melompat ke udara? Jawabannya sudah tersedia: “Karena mencoba
menangkap serangga terbang.”
Akan tetapi, kita
harus ajukan pertanyaan berikut ini kepada mereka yang berkata bahwa sebuah
sistem penerbangan beserta sayapnya dapat muncul pada tubuh seekor dinosaurus:
Bagaimanakah sistem terbang pada seekor lalat – yang jauh lebih efisien daripada
helikopter yang kemudian dibentuk mengikuti sistem terbang pada lalat –
terbentuk? Anda akan pahami bahwa kaum evolusionis tak memiliki jawabannya. Sudah
pasti teramat tidak masuk akal bahwa suatu teori yang tak sanggup menjelaskan
sistem terbang pada makhluk sekecil lalat, akan sanggup menjelaskan proses
perubahan dinosaurus menjadi burung.
Karena itulah,
para ilmuwan yang berpikir secara benar pun sepakat, bahwa satu-satunya segi
ilmiah pada teori tersebut adalah nama-nama yang berbahasa Latin. Pada intinya,
munculnya kemampuan terbang hewan reptil hanyalah khayalan.
Kaum evolusionis,
yang berpendapat bahwa dinosaurus berubah menjadi burung, haruslah mampu
memperoleh buktinya dalam catatan fosil. Jika dinosaurus memang berubah menjadi
burung, harus terdapat makhluk setengah burung-setengah dinosaurus yang hidup
di masa lampau, serta meninggalkan jejaknya dalam catatan fosil. Sudah
bertahun-tahun lamanya, para evolusionis menyatakan bahwa seekor burung yang
disebut “Archaeopteryx” merupakan bukti transisi tersebut. Akan tetapi
pernyataan ini tak lain adalah sebuah penipuan besar.
Penipuan tentang Archaeopteryx
Archaeopteryx, makhluk
yang dianggap sebagai nenek moyang burung modern oleh para evolusionis, hidup
sekitar 150 juta tahun silam. Menurut teori ini, ada sejenis dinosaurus
berukuran kecil, misalnya Velociraptors dan Dromaesaurs, yang
berevolusi, yaitu menumbuhan sayap dan lalu mulai terbang. Jadi, Archaeopteryx
dianggap sebagai bentuk peralihan, yang muncul dari dinosaurus – nenek
moyangnya – lalu mulai terbang untuk pertama kalinya.
Tetapi, kajian
terakhir atas fosil Archaeopteryx menunjukkan bahwa penjelasan ini tidak
memiliki dasar ilmiah. Archaeopteryx bukan bentuk peralihan, melainkan
spesies burung yang sudah punah, yang tidak jauh berbeda dengan burung modern.
Hingga beberapa
waktu yang lalu, pendapat bahwa Archaeopteryx adalah “setengah burung”
yang belum sanggup terbang sempurna merupakan pandangan yang umum diterima di kalangan
kaum evolusionis. Tiadanya tulang dada atau sternum pada makhluk ini, dianggap sebagai bukti terpenting
bahwa kemampuan terbangnya tidak sempurna. (Sternum adalah tulang tempat menempel otot-otot untuk terbang,
yang terletak di bawah toraks.
Di zaman sekarang, tulang dada terdapat pada semua jenis burung, baik yang
dapat terbang maupun tidak, bahkan terdapat juga pada kelelawar, yang tergolong
mamalia terbang.)
Akan tetapi,
fosil Archaeopteryx ketujuh, yang ditemukan tahun 1992, menjadi bukti
penentang argumen tadi. Alasannya adalah, dalam fosil yang baru saja ditemukan
ini, terdapat tulang dada yang selama ini dianggap tak ada oleh kaum
evolusionis. Dalam jurnal Nature, fosil ini digambarkan sebagai berikut:
Spesimen Archaeopteryx
yang baru saja ditemukan menampakkan tulang sternum yang berbentuk persegi,
yang sudah lama diperkirakan ada, tetapi belum pernah didokumentasikan. Ini
menjadi tanda akan kekuatan otot terbangnya, walaupun kemampuan terbang-jauhnya
masih dipertanyakan. 30
Penemuan ini
meruntuhkan tiang utama yang melandasi pernyataan bahwa Archaeopteryx
adalah makhluk setengah burung, yang tak mampu terbang sempurna.
Lagi pula,
struktur bulu burung ini merupakan salah satu bukti terpenting bahwa Archaeopteryx
adalah burung sejati yang dapat terbang. Struktur bulu Archaeopteryx,
yang tidak simetris, tidak bisa dibedakan dari bulu burung zaman modern.
Ini menandakan bahwa burung ini benar-benar bisa terbang. Seperti kata ahli
paleontologi ternama, Carl O. Dunbar, “Dilihat dari bulunya, jenis [Archaeopteryx]
jelas termasuk kelompok burung.” 31 Ahli
paleontologi Robert Carroll menjelaskan hal ini lebih lanjut:
Geometri bulu
yang berfungsi untuk terbang pada Archaeopteryx adalah sama persis dengan
bulu burung modern yang dapat terbang, sedangkan bulu pada unggas yang tak bisa
terbang adalah simetris. Pola yang dengannya bulu-bulu tersebut tersusun pada
sayapnya juga masih termasuk dalam kelompok burung modern… Menurut Van Tyne dan
Berger, bentuk dan ukuran relatif sayap Archaeopteryx serupa dengan yang
ada pada burung yang biasa menembus rapatnya pepohonan, misalnya burung unggas yang sudah didomestikasi,
merpati, burung rawa, burung
pelatuk, dan kebanyakan burung layang…
Bulu yang berfungsi untuk terbang ini telah berada dalam keadaan yang sama selama sedikitnya 150 juta
tahun … 32
Fakta lain yang
terungkap lewat struktur bulu Archaeopteryx adalah metabolismenya yang
tergolong berdarah panas. Seperti telah dibahas tadi, reptil dan – walaupun ada
pendapat kaum evolusionis yang menentang ini – dinosaurus tergolong hewan
berdarah dingin, yang suhu tubuhnya berubah tergantung suhu lingkungan. Lain
halnya pada hewan berdarah panas, yang suhu tubuhnya diatur secara homeostatis
(tidak bergantung pada suhu lingkungan di luar tubuh – penerj.). Fungsi bulu
burung yang amat penting adalah pemeliharaan suhu tubuh yang senantiasa tetap. Fakta
bahwa Archaeopteryx memiliki bulu membuktikan bahwa makhluk ini adalah
burung sejati berdarah panas yang perlu menjaga panas tubuhnya; tidak demikian
halnya pada dinosaurus.
Anatomi Archaeopteryx dan kesalahan kaum evolusionis
Terdapat dua hal
yang menjadi landasan kaum evolusionis dalam menyatakan bahwa Archaeopteryx adalah bentuk peralihan,
yaitu adanya cakar pada sayap dan giginya.
Memang benar bawa
Archaeopteryx memiliki cakar pada sayapnya, dan gigi dalam paruhnya.
Tapi kedua ciri ini tidak berarti Archaeopteryx berkerabat dengan
reptilia. Di samping itu, terdapat dua spesies burung masa kini, touraco
dan hoatzin, yang juga memiliki cakar pada sayapnya yang digunakan untuk
bertengger pada dahan pohon. Kedua makhluk ini adalah burung seutuhnya, tanpa
ciri-ciri reptil. Karenanya, adalah sama sekali tidak berdasar untuk mengatakan
bahwa Archaeopteryx adalah bentuk peralihan, hanya karena sayapnya
bercakar.
Gigi yang
terdapat dalam paruh Archaeopteryx bukanlah pula tanda bahwa burung ini
adalah makhluk transisi. Kaum evolusionis telah keliru ketika menyatakan bahwa
gigi-gigi tersebut adalah ciri khas yang berasal dari reptil. Hal ini
disebabkan gigi bukanlah ciri khas reptil. Di zaman sekarang, terdapat reptil
yang bergigi, dan ada pula yang tidak. Lagi pula, Archaeopteryx bukanlah
satu-satunya burung yang bergigi. Memang benar, di masa kini tidak ada lagi
burung yang bergigi. Namun, dalam catatan fosil, tampak bahwa di masa hidup Archaeopteryx
dan di masa sesudahnya, dan bahkan hingga belum lama ini, terdapat sekelompok
burung yang dapat digolongkan sebagai “burung bergigi”.
Hal terpenting di
sini adalah, struktur gigi Archaeopteryx dan burung bergigi lainnya sama
sekali berbeda dengan struktur gigi dinosaurus, yang dianggap sebagai nenek
moyang hewan jenis burung. Ahli ornitologi ternama, L. D. Martin, J. D.
Stewart, dan K. N. Whetstone, mengamati bahwa pada Archaeopteryx dan
burung sejenis lainnya, terdapat gigi yang tidak bergerigi, bagian bawahnya
menyempit, dan akarnya melebar. Sedangkan pada dinosaurus theropoda, yang
dinyatakan sebagai nenek moyang burung, terdapat gigi yang bergerigi dan
berakar lurus.33 Para
peneliti ini juga membandingkan tulang pergelangan kaki Archaeopteryx dengan
dinosaurus. Dilaporkan bahwa tak ada kesamaan antara keduanya.34
Penelitian para
ahli anatomi seperti S. Tarsitano, M. K. Hecht, dan A. D. Walker, telah
mengungkapkan adanya salah tafsir pada pernyataan John Ostrom – ahli terkemuka
di bidang ini, yang berpendapat bahwa Archaeopteryx berevolusi dari dinosaurus
– serta ahli lainnya yang melihat kesamaan antara tungkai kaki Archaeopteryx
dan dinosaurus.35 Sebagai
contohnya, A. D. Walker telah melakukan analisis bagian telinga Archaeopteryx,
dan menemukan bahwa keadaannya adalah amat serupa dengan burung modern. 36
Dalam bukunya, Icons
of Evolution, ahli biologi Amerika Jonathan Wells berkomentar bahwa Archaeopteryx
telah dijadikan sebuah lambang penting dari teori evolusi. Padahal, bukti-bukti
menunjukkan bahwa makhluk tersebut bukanlah nenek moyang primitif dari burung.
Menurut Wells, salah satu buktinya adalah dinosaurus theropoda – yang dianggap
sebagai nenek moyang Archaeopteryx – sebenarnya lebih muda daripada Archaeopteryx:
“Reptil berkaki dua yang berlari di muka bumi, dan memiliki ciri-ciri yang diperkirakan
terdapat pada nenek moyang Archaeopteryx, baru muncul sesudahnya.”37
Semua penemuan
ini menjadi pertanda bahwa Archaeopteryx bukanlah mata rantai transisi,
melainkan hanya sejenis burung yang dapat digolongkan sebagai “burung bergigi”.
Menghubungkan makhluk ini dengan dinosaurus theropoda sama sekali tidak absah.
Dalam artikel berjudul “The Demise of the ‘Birds Are Dinosaurs’ Theory”
(Gugurnya Teori “Burung adalah Dinosaurus”), ahli biologi Amerika Richard L.
Deem menulis tentang pernyataan evolusi burung-dinosaurus dan Archaeopteryx:
Hasil penelitian
terakhir menunjukkan bahwa tangan dinosaurus theropoda berasal dari digit
(bakal jari –terj.) I, II, dan III, sedangkan sayap burung, walaupun
strukturnya tampak mirip, berasal dari digit II, III, dan IV… Terdapat sejumlah
kesulitan lain yang mengganjal teori “burung adalah dinosaurus” ini. Tungkai
depan theropoda jauh lebih kecil (relatif terhadap ukuran tubuh) daripada
tungkai sayap Archaeopteryx. “Bakal sayap” yang kecil pada theropoda
tidaklah begitu meyakinkan, terutama mengingat tubuh dinosaurus tersebut cukup
berat. Hewan theropoda umumnya tidak memiliki tulang pergelangan tangan berbentuk sabit, dan memiliki
sejumlah bagian penyusun pergelangan yang tidak memiliki homologi dengan tulang-tulang
Archaeopteryx. Selain itu, hampir pada seluruh hewan theropoda, saraf VI
keluar dari tempurung otak melalui samping, bersama-sama beberapa saraf
lainnya; sedangkan pada burung, saraf VI keluar dari depan tempurung otak,
melalui lubangnya tersendiri. Di samping itu, terdapat pula masalah kecil:
sebagian besar jenis theropoda muncul setelah Archaeopteryx. 38
Sekali lagi,
fakta-fakta tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa Archaeopteryx maupun
burung-burung purba lainnya yang sejenis bukanlah makhluk peralihan. Catatan fosil tidak
menunjukkan bahwa berbagai spesies burung mengalami evolusi dari satu jenis ke
jenis lainnya. Sebaliknya, catatan fosil membuktikan, burung-burung jenis
modern di masa kini dan beberapa jenis burung purba seperti Archaeopteryx pernah
hidup dalam satu zaman. Memang benar bahwa sebagian dari burung purba seperti Archaeopteryx
dan Confuciusornis telah punah, tetapi fakta bahwa hanya sebagian saja
dari spesies-spesies yang dulu pernah hidup bisa bertahan hingga masa kini
tidak berarti dengan sendirnya mendukung teori evolusi.
Bukti Terbaru: Kajian atas Burung Unta
menggugurkan Cerita Burung-Dino
Pukulan
baru bagi pernyataan teori “burung berevolusi dari dinosaurus” datang dari
penelitian embriologi burung unta. Dr. Alan Feduccia dan Dr. Julie Nowicki dari
Universitas North Carolina di Chapel Hill, telah meneliti beberapa butir telur
burung unta yang hidup, dan lagi-lagi menghasilkan kesimpulan bahwa tidak ada
kaitan evolusi antara burung dan dinosaurus. Sebuah portal ilmiah bernama EurekAlert,
yang dikelola oleh American Association for the Advancement of Science,
(AAAS) melaporkan:
Dr.
Alan Feduccia dan Dr. Julie Nowicki dari Universitas North Carolina (UNC) di
Chapel Hill… membuka beberapa butir telur burung unta yang hidup, dan menemukan
hal yang mereka yakini sebagai bukti bahwa burung tak mungkin merupakan
keturunan dinosaurus…
Apa pun
yang menjadi nenek moyang unggas di masa lalu, makhluk it pastilah berjari lima, dan bukan tangan berjari tiga seperti dinosaurus
theropoda,” kata Feduccia … “Para ilmuwan
sepakat, bahwa dinosaurus memperoleh tangan dengan jari kesatu, kedua dan
ketiga… Penelitian kami atas embrio burung unta menunjukkan secara meyakinkan bahwa
pada unggas, yang berkembang hanyalah jari kedua, ketiga dan keempat, yang pada
manusia setara dengan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis, dan kami punya
foto-foto sebagai buktinya,” kata Feduccia, dosen dan mantan ketua jurusan
biologi di UNC. “Ini memunculkan masalah baru bagi mereka yang bersikeras
menyatakan bahwa dinosaurus adalah nenek moyang dari burung modern. Sebagai
contohnya, bagaimana ‘tangan’ unggas yang berjari kedua, ketiga dan keempat,
berevolusi jadi jari kesatu, kedua dan ketiga? Ini dapat dikatakan mustahil.“39
Dalam laporan yang sama, Dr. Feduccia
juga memberi ulasan penting atas ketidakabsahan – serta kedangkalan – teori
“burung berevolusi dari dinosaurus”:
“Terdapat permasalahan-permasalahan
yang mustahil dipecahkan dengan teori itu,” katanya [Dr. Feduccia]. “Selain
hasil penelitian kami, terdapat juga masalah penentuan zaman. Makhluk yang
sekilas mirip dinosaurus-burung itu hidup sekitar 25 juta hingga 80 juta tahun
setelah munculnya burung tertua, yaitu 150 juta tahun yang silam.”
“Jika seseorang melihat kerangka ayam dan
kerangka dinosaurus dengan menggunakan teropong, keduanya akan tampak serupa.
Tetapi, pemeriksaan yang lebih dekat dan teliti mengungkapkan banyak
perbedaan,” kata Feduccia. “Dinosaurus theropoda, misalnya, memiliki gigi yang bergerigi
dan melengkung. Tetapi burung-burung yang ada pertama kali mempunyai gigi
lurus, tak bergerigi, dan menyerupai paku. Kedua jenis hewan
ini juga berbeda dalam proses pertumbuhan dan pergantian gigi.”40
Bukti ini
mengungkapkan, bahwa “dino-bird” (burung-dinosaurus) hanyalah sekadar
lambang atau ikon Darwinisme:
sebuah mitos yang dipertahankan hanya demi keyakinan dogmatis atas teori
tersebut.
Fosil burung-dinosaurus palsu ciptaan kaum evolusionis
Dengan runtuhnya
pernyataan evolusionis dalam hal fosil burung purba Archaeopteryx, teori
evolusi kini menghadapi jalan buntu mengenai asal-usul burung. Karena itu,
sebagian kaum evolusionis terpaksa menggunakan cara klasik – pemalsuan. Di
tahun 1990-an, beberapa kali diberitakan kepada masyarakat bahwa “fosil makhluk
setengah-burung dan setengah-dinosaurus telah ditemukan.” Media massa
evolusionis memasang gambar-gambar makhluk yang disebut “burung dinosaurus” ini
dan sebuah kampanye ke seluruh dunia pun dilancarkan. Tetapi, segera diketahui bahwa
kampanye ini didasarkan pada kontradiksi dan pemalsuan.
Tokoh pertama
dalam kampanye ini adalah Sinosauropteryx, seekor dinosaurus yang
ditemukan di Cina pada tahun 1996. Fosil itu diperkenalkan ke seluruh dunia sebagai
“dinosaurus berbulu burung”, dan ditampilkan sebagai berita utama. Akan tetapi,
pengkajian terperinci di bulan-bulan berikutnya mengungkapkan bahwa struktur yang
digembar-gemborkan oleh kaum evolusionis sebagai “bulu burung” sebenarnya
adalah bukan bulu burung.
Inilah penyajian berita itu dalam
artikel berjudul Plucking the Feathered Dinosaur dalam jurnal Science:
Tepat satu tahun silam, para ahli
paleontologi sibuk memperbincangkan foto yang disebut “dinosaurus berbulu
burung”, yang diedarkan di ruang pertemuan tahunan Perhimpunan Paleontologi
Vertebrata. Spesimen Sinosauropteryx dari Formasi Yixian di negeri Cina menempati
halaman depan The New York Times, dan dianggap oleh sebagian kalangan
sebagai bukti bahwa dinosaurus merupakan asal-usul dari burung. Tapi pada
pertemuan paleontologi vertebrata tahun ini, di Chicago bulan lalu,
kesimpulannya agak lain: Struktur itu bukanlah bulu burung modern, kata sekitar
selusin ahli paleontologi Barat yang telah menyaksikan spesimen itu … ahli
paleontologi Larry Martin dari Universitas Kansas, Lawrence, berpendapat bahwa
struktur tersebut adalah serat kolagen yang terurai lepas di bawah kulit –
jadi, tak ada kaitannya sama sekali dengan burung.41
Satu lagi hiruk pikuk “burung-dino” membahana
di tahun 1999. Satu lagi fosil yang ditemukan di negeri Cina ditampilkan
sebagai “bukti utama evolusi”. Majalah National Geographic, sumber
kampanye ini, telah membuat dan mengedarkan gambar khayal “dinosaurus berbulu
burung” berdasarkan rekaan fosil itu. Di beberapa negara, gambar itu menjadi
berita utama. Spesies yang dikatakan hidup 125 juta tahun yang lalu ini, segera
diberi nama ilmiah Archaeoraptor liaoningensis.
Namun, fosil itu
adalah palsu dan disusun secara lihai dari lima buah spesimen terpisah. Setahun
kemudian, sekelompok peneliti, tiga diantaranya ahli paleontologi, membuktikan
pemalsuan itu dengan bantuan tomografi komputer sinar-X. Burung-dino itu adalah
hasil rekayasa evolusionis Cina. Beberapa orang amatir negeri Cina membentuk
burung-dino itu dari 88 buah tulang dan batu dengan bantuan lem dan semen.
Penelitian menunjukkan, Archaeoraptor ini dibentuk dengan menggunakan
bagian depan kerangka burung purba, dan tubuh serta ekornya dibentuk dari
tulang empat spesimen yang berbeda. Artikel dalam jurnal ilmiah Nature
menjelaskan pemalsuan itu sebagaimana berikut:
Fosil Archaeoraptor
diumumkan sebagai “mata rantai yang hilang” serta dianggap sebagai bukti
terkuat yang mungkin, setelah Archaeopteryx, yang membuktikan bahwa
unggas memang hasil evolusi dari beberapa jenis dinosaurus pemakan daging.
Tetapi, Archaeoraptor terungkap sebagai sebuah pemalsuan, yang berupa
gabungan sejumlah tulang yang berasal dari burung primitif dan seekor dinosaurus
dromaeosaurid yang tidak bisa terbang… Spesimen Archaeoraptor,
yang dilaporkan sebagai hasil koleksi dari Formasi Jiufotang Kretasea Awal di
Liaoning, diselundupkan dari negeri Cina dan lalu dijual di Amerika Serikat di
pasar komersial… Kami simpulkan, bahwa Archaeoraptor terdiri dari dua
spesies atau lebih, dan disusun setidaknya dari dua, mungkin lima, spesimen
yang berbeda… 42
Jadi, bagaimana
mungkin National Geographic bisa menyajikan pemalsuan ilmiah
besar-besaran ke seluruh dunia sebagai “bukti utama kebenaran evolusi”?
Jawabannya terselubung dalam khayalan evolusioner di kalangan redaksi majalah
itu. National Geographic secara membabi-buta mendukung Darwinisme, dan
tak ragu menggunakan alat propaganda apa pun yang dianggapnya mendukung teori
itu. Akhirnya majalah ini tersangkut dalam “skandal manusia Piltdown” kedua.
Para ilmuwan
evolusionis juga menyadari sikap fanatik National Geographic. Dr. Storrs
L. Olson, kepala Departemen Ornitologi di Smithsonian Institute yang
ternama, mengumumkan bahwa sebelumnya ia telah mengingatkan bahwa fosil itu
palsu. Akan tetapi, para eksekutif majalah itu tak menghiraukannya. Dalam
suratnya untuk Peter Raven dari National Geographic, Olson menulis:
Sebelum terbitnya
artikel “Dinosaurus Memperoleh Sayap” dalam majalah National Geographic
edisi Juli 1998, Lou Mazzatenta, fotografer untuk artikel Sloan, mengundang
saya ke National Geographic Society agar melihat-lihat foto fosil-fosil
Cina serta memberi komentar atas ceritanya. Saat itu, saya berupaya menekankan
fakta yang mendukung kuat sejumlah sudut pandang alternatif yang ada selain
dari yang hendak disajikan National Geographic. Akan tetapi, akhirnya telah
menjadi jelas di hadapan saya bahwa National Geographic tidak tertarik
pada apa pun selain dogma yang ada, yaitu burung adalah hasil evolusi
dinosaurus.43
Dalam pernyataan
di USA Today, Olson berkata, “Masalahnya
adalah, saat itu fosil tersebut telah diketahui oleh National Geographic sebagai
palsu, tetapi informasi itu tidak diungkapkan.”44 Dengan kata lain, ia mengatakan bahwa National
Geographic mempertahankan pemalsuan itu, walaupun tahu bahwa fosil yang
sedang diberitakan olehnya sebagai bukti evolusi adalah palsu.
Harus dijelaskan
di sini, bahwa tindakan National Geographic bukanlah pemalsuan pertama
demi mempertahankan teori evolusi. Banyak kejadian serupa sesudah teori itu
pertama kali diajukan. Ahli biologi Jerman, Ernst Haeckel, membuat gambar
embrio yang palsu untuk mendukung Darwin. Para evolusionis Inggris memasang
rahang orang utan pada tengkorak kepala manusia, dan selama 40 tahun
memamerkannya di British Museum sebagai “manusia Piltdown, bukti terbesar
kebenaran evolusi.” Para evolusionis Amerika menampilkan “manusia Nebraska”
dari sebuah gigi babi. Di seluruh dunia, gambar palsu yang disebut-sebut
sebagai “rekonstruksi”, yang sebenarnya tidak pernah ada, telah dianggap
sebagai “makhluk primitif” atau “manusia kera”.
Singkat kata,
kaum evolusionis telah mengulangi metode pemalsuan kasus manusia Piltdown.
Mereka menciptakan sendiri bentuk peralihan yang tidak mampu mereka temukan.
Dalam sejarah, peristiwa ini menunjukkan betapa propaganda internasional telah
menipu demi teori evolusi, dan para evolusionis bersedia melakukan segala macam
dusta demi mempertahankannya.
referensi : http://www.harunyahya.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar